Jacob Ereste : PEMBLOKIRAN MEDIA SOSIAL MEMBUNUH AKAL SEHAT
Artikel : Pojok Warta Jogja.
Oleh : Yacob Ereste
WARTA JOGJA | Pada akhirnya toh pemblokiran media sosial sejak Rabu, 22 Mei 2019 untuk mengakses fitur video dan gambar pada media sosial dan instant messaging kembali dibuka mulai Sabtu, 25 Mei 2019, pukul 14.00-15.00 WIB.
Alasan terkesan lucu melakukan pemblokiran itu katanya untuk menangkal berita hoax, fitnah dan informasi-informasi yang memprovokasi seperti yang banyak beredat saat kerusuhan, 22-25 Mei 2019, kata Rudiantara dalam pesan singkatnya seperti yang dikutif CNBC (25 /05/2019) sehubungan dengan pembukaan blokiran media sosial di Indonesia.
Alasan membuka blokiran media sosial ini pada Sabtu, 25 Mei 2019 jelas tidak seperti yang dikatakan saat melakukan pblokiran. Karena situasi kerusuhan sudah kondusif, sehingga pembatasan akses difungsikan kembali kata Menteri Kominfo Rudiantara. Logikanya memang bukan karena hendak menangkal hoax, fitnah dan berita yang melakukan provokasi, tetapi jelas untuk meredam akses masyarakat yang bebas untuk mengetahui dan mengawasi sikap represif aparat dalam meredam kemarahan rakyat. Toh setelah blokiran media sosial dibuka tidak berati berita hoax fitnah dan berita yang bisa dianggap memprovokasi itu sudah boleh dilakukan juga, jelas tidak. Jadi alasan oemblokiran media sosial selama tiga hari itu semakin tidak mencerdaskan masyarakat. Jika pun ada, tidak lebih dari contoh nyata dari rezim menggunakan kekuasaanya untuk meredam kemarahan dari rakyat yang kecewa akibat merasa diperlakukan tidak adil.
Gejolak aksi dan unjuk rasa rakyat pada 22-24 Mei 2019 yang terus berlanjut secara sporadis di beberapa daerah sampai analiais ini ditulis, jelas disebabkan oleh perlakuan tidak adil itu dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Seperti yang kemudian berlanjut pada gugatan yang diajukan sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk segera membuktikan kecurangan-kecurangan. Bagi takyat — selaku pemilik suara yang berhak memilih — pasti dapat dipahami menjadi pihak yang paling dirugikan, ketika perilaku curang dalam Pemilu itu dilakukan oleh pihak manapun.
Ajakan Menkominfo pasa masyarakat pengguna media sosial, instant messaging, maupun video file sharing untuk senantiasa menjaga dunia masa Indonesia agar digunakan untuk hal-hal yang positif, tentu saja patut disambut dengan baik. Karena hoax, fitnah, dan informasi-informasi yang memprovokasi tidak patut dilajukan, tidak cuma saat hendak meredam kekecewaan dan kemarahan akibat perlakuan tidak adil yang terjadi. Sebab selama perlakuan tidak adil masih terjadi pastilah rakyat tak akan berdiam diri, lantaran semua orang paham bahwa perlakuan tidak adil itu bagian kezakiman yang tidak termaafkan untuk siapapun.
Atas dasar yang sama pijakan etikanya, maka tindak dan sikap dari pemblokiran media sosial tadi jelas melanggar hak warga masyarakat untuk dapat memperoleh informasi dan kebebasan melakukam komunikasi untuk memenuhi kebutuhan serta keperluan hidup agar dapat lebih baik dan lebih sejahtera.
Setidaknya tulisan ini untuk mengingatkan agar tindakan pemblokiran media sosial tidak boleh lagi dilakukan, baik oleh Menkoinfo maupun Menko Polhukam. Sebab akibatnya bukan saja sangat metugikan masyarakat, tetapi juga bisa menimbilkan keresahan dan kegaduhan. Sebab media sosial telah menjadi bagian dari keperluan masyarakat yang tidak dapat diabaikan.
Jika saja tidak percaya dengan keresahan dan kegaduhan yang bisa meletup bersama kemarahan warga masyarakat, bisa saja dilakukan uji coba sepekan saja membatasi akses Facebook, Facebook Messanger, WhatsApp, dan Instagram, sehingga media sosial tidak bisa difungsikan sama sekali, agaknya dunia pun bisa terkesan gelap.
Jadi wajar bila seorang kawan penyair berkata bahwa tindakan pemblokiran media sosial di jaman now sama dengan membunuh akal sehat. Sebab kita yang waras jadi merasa linglung, ketika tidak bisa menggunakan media sosial, kata dia sambil terkekeh-kekeh.
Jakarta, 26 Mei 2019