Artikel : Pojok Warta Jogja.
Oleh : Yacob Ereste
WARTA JOGJA | Kemungkinan pemblokiran media sosial oleh Kemeninfokom akan kembali dilakukan seperti pada waktu kerusuhan 22-25 Mei 2019 untuk meredam suasa yang bisa memanas pada saat pelaksanaan sidang perdana gugatan Pemilu yang dianggap curang di MK, 14 Juni 2019. Dan Menko Polhukam sendiri sudah pasang ancang-ancang untuk mencegah massa dari luar Jakarta yang hendak mengikuti sidang perdana di MK pada pekan ini juga.
Menjelang sidang perdana sengketa Pemilu yang dianggap penuh krcurangan ini Menko Polhukam Wiranto juga sudah menyatakan akan ada pencegahan aliran massa ke Jakarta. (kontan.co.id, 10 Juni 2019).
Menko Polhukam hendak melakukan pencegahan aliran massa ke Jakarta, terkait dengan pengamanan di Jakarta yang dipirkirakan bisa menimbulkan kerusuhan. Juga masalah kerusuhan yang telah nenimbulkan banyak korban akan segera dia ungkapkan. Siapa dalang dibalik kerusuhan pada 21-22 Mei 2019 di Jakarta ini akan dibuka ke publik.
Upaya untuk mencegah aliran massa datang ke Jakarta, menurut Wiranto, bakal dilakukan pula di kota-kota besar asal para massa yang akan datang itu. Artinya, tindakan pemerintah ini memang sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) dan mencederai demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia.
Kecuali itu, Menko Polhukam juga meminta agar para kontestan tak melakukan pengerahan massa. Karena proses hukum tengah berjalan. Kasus yang terkait dengan masalah pelaksanaan Pemilu yang dianggap curang ini sudah masuk tahap registrasi dari permohonan peserta Pilpres yang telah mengajukan sengketa. Hasil sidang MK yang memberikan keputusan terus berlanjut atau tidaknya proses sengketanya ke tahap persidangan yang akan mempertimbangkan permohonan yang diajukan beserta barang bukti yang telah diajukan (dalam Putusan Sela).
Apapun alasannya pemerintah untuk memblokir media sosial dan melarang orang datang ke Jakarta, jelas melanggar HAM, karena keputusan seperti itu tidak bijak dan sepenuhnya dilakukan hanya dengan pendekatan kekuasaan, bukan bersandar pada hukum maupun peraturan dan perundsang-undangan.
Upaya untuk melakukan pencegahan aliran massa itu pun jadi semacam langkah mundur, karena sama dengan apa yang pernah dilakukan rezim Orde Baru pada 20-an tahun silam. Sikap represif dan otoritarian rezim penguasa seakan berjalan mundur, kembali berulang untuk dinikmati oleh rakyat di negeri Pancasila ini.
Begitukah ironinya hidup di negeri Pancasila ini ? Sehingga alam kebebasan yang sudah kita tebus dengan harga yang mahal pada bulan Mei 1998, kembali pupus seakan tidak berbekas. Minimal sejak bulan Mei 2019 kemarin, haruskah kembali mendera kita lagi ?
Jakarta, 12 Juni 2019.