Wacana Penghapusan Pelajaran Agama

WACANA penghapusan pelajaran agama kembali mencuat. Hal ini terus berulang muncul. Kali ini wacana tersebut muncul dari SD Darmono, seorang pengusaha yang merupakan Dirut Jababeka, pegiat budaya, dan pendiri President University.

Tahun 2017 viral hoax bahwa tokoh perempuan Musdah Mulia lewat laman facebooknya pernah menyatakan wacana penghapusan mata pelajaran agama di sekolah. Pada tahun yang sama juga viral hoax bahwa Menteri Pendidikan Muhajir Effendi akan menghapus pelajaran agama di sekolah. Maret 2019 belum lama ini juga viral video ibu-ibu yang menyatakan jika Jokowi memenangi Pilpres 2019 maka pelajaran agama akan dihapus, dan ini juga dinyatakan fitnah. Itu semua dianggap menyebarkan hoax.

Tapi hari ini kita secara jelas dan gamblang, bukan hoax lagi, ada seorang tokoh yang merupakan Dirut Jababeka, pendiri President University, tokoh yang bergelut di bidang budaya dan sosial, SD Darmono, mewacanakan dan mengusulkan kepada pemerintah agar pelajaran agama di sekolah dihapus. Sebenarnya ada apa di balik ini semua? Wacana-wacana penghapusan mata pelajaran agama di sekolah terus muncul, meskipun yang sebelumnya dinyatakan hoax. Jika kita pandang secara sekilas, wacana-wacana seperti ini mengindikasikan masih ada pihak-pihak di republik ini yang memiliki pola pikir sekularisme dan pluralisme yang menganggap agama sebagai faktor pemicu radikalisme dan disintegrasi serta penyebab keterbelakangan suatu bangsa. Akhirnya mereka menginginkan penghapusan mata pelajaran agama.

Wacana ini bertentangan dengan amanah konstitusi kita. Pancasila sila ke-1 menegaskan Indonesia negara yang berketuhanan, mengakui agama-agama dan menolak paham anti agama. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 3 menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Wacana ini juga dinilai usang dan tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Sekarang dalam dunia pendidikan umum sudah dikenal kecerdasan religius sebagai faktor terpenting dalam mengukur kesuksesan anak manusia. Kecerdasan ini mulai diterapkan dan dimasukkan dalam kurikulum-kurikulum di Barat sejak awal tahun 2000an. Kalau Indonesia di negara yang menganut paham Pancasila menghapus pendidikan agama artinya pendidikan kita akan mundur 50 tahun. Jangan-jangan pengusul penghapusan pendidikan agama tidak paham soal pendidikan dan bias pandangan terhadap nilai-nilai dan ajaran agama.

Silahkan Baca  WARGA KALURAHAN NATAH MENGGELAR AKSI DEMO MENUNTUT LURAH MUNDUR DAN USUT TUNTAS DANA DESA

Oleh karena itu, pendidikan agama baik di pendidikan nonformal maupun formal sangat penting dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional tadi. Kalau dihapus salah satunya, misalnya di pendidikan formal, maka tak ada jaminan anak-anak kita mendapat pendidikan agama di pendidikan nonformal. Sebetulnya pendidikan agama yang paling utama adalah di keluarga, tapi ini juga tidak bisa disamaratakan semua keluarga memiliki pemahaman dan ilmu agama yang mumpuni. Di dalam Islam misalnya, agama bukan hanya saja soal iman dan akhlaq. Tapi lengkap dan lebih kompleks, ada ilmu-ilmu lain wajib diketahui oleh seorang Muslim, seperti fiqih ibadah, muamalah, munakahat, ilmu waris, memandikan jenazah, dan seterusnya. Tidak semua keluarga memiliki penguasaan ilmu-ilmu ini kan? Ini contoh kecil saja, kalau tidak di pendidikan formal di mana lagi anak-anak kita akan mendapat pelajaran agama yang pokok dan detail seperti itu? Ilmu-ilmu agama seperti inilah yang kita ajarkan. Hal ini sekaligus menjawab kekhawatiran pendidikan agama menjadi sumber rekrutmen radikalisme. Kita setuju dengan pemahaman agama yang moderat, pertengahan, toleran dan adil serta tidak setuju dengan ekstremisme (sikap melampaui batas) dalam beragama. Justeru dengan pendidikan agama di sekolah formal inilah kita bisa membentengi anak-anak didik dengan pendidikan agama yang benar seperti penanaman nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, pengorbanan, saling menghargai, dan seterusnya, agar tidak mudah terpapar dengan pemahaman agama yang melampaui batas, baik yang dikatakan radikalisme maupun liberalisme.

Silahkan Baca  Terbakar Cemburu, Pemuda di Kembangan Aniaya Teman Kekasihnya

Selain itu, lebih jauh, pendidikan agama juga sangat penting karena terkait dengan kebahagiaan seseorang. Martin Seligman, seorang tokoh yang bergelut dalam dunia psikologi di Amerika Serikat, menyatakan bahwa salah satu faktor kebahagiaan adalah agama dan religiusitas.

Pernyataan Seligman ini sedikit banyak terkonfirmasi oleh beberapa survei. Di antaranya Gallup tahun 2019 yang mensurvei 150 ribu responden dari 140 negara menyimpulkan bahwa orang Indonesia menjadi orang paling bahagia ke-5 di dunia.

Lebih spesifik lagi, anak muda di Indonesia juga termasuk yang paling bahagia di dunia, menurut survei lain yang dilakukan organisasi Inggris Varkey Foundation selama September-Oktober 2016 dengan responden anak-anak muda yang lahir pada periode 1995-2001 (Generation Z) di 20 negara yaitu Nigeria, Israel, India, Argentina, Amerika Serikat, Cina, Rusia, Kanada, Brasil, Afrika Selatan, Jerman, Italia, Inggris, Prancis, Australia, Selandia Baru, Turki, Korea Selatan, dan Jepang.

Survei Varkey menyimpulkan bahwa anak-anak muda di Indonesia mencatat level tertinggi untuk kebahagiaan dengan skor bersih 90% disusul kemudian oleh Nigeria, Israel, dan India. Menurut tim Varkey, ini mungkin menunjukkan bahwa tinggal di negara yang relatif makmur dan maju secara ekonomi tak serta merta menjamin kebahagiaan. Untuk Indonesia, komitmen terhadap agama adalah penyebab utama kebahagiaan.

Dalam pembangunan, aspek kebahagiaan inilah yang sebetulnya paling penting. Tapi bukan berarti menafikan aspek ekonomi dan kesejahteraan. Untuk apa maju perekonomian suatu bangsa tapi warga negaranya tidak bahagia. Mindset seperti inilah yang mulai dianut oleh sebagian pihak. Di negara Bhutan saja yang dipakai untuk mengukur pembangunan adalah National Happiness Index. Indikator pembangunan yang selama ini dipakai di dunia adalah pertumbuhan ekonomi / GDP (growth) yang cenderung melihat segala sesuatunya dari angka, sehingga manusia dilihat sebagai mesin ekonomi. Tapi belakangan ini sudah ada indikator alternatif yang merupakan pelengkap dari GDP yaitu Human Development Index (HDI) yang mementingkan aspek kualitas hidup manusia dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan daya beli. Indonesia termasuk negara yang menggunakan HDI ini dalam perencanaan pembangunan. Mulai beberapa tahun belakangan ini pemerintah bersama DPR menggunakan indikator HDI ini selain GDP dalam perencanaan pembangunan lewat RAPBN. Jadi aspek manusia harusnya lebih diperhatikan bukan hanya sebatas sebagai mesin ekonomi. Dari sini harusnya mindset yang terbangun dalam mengelola negara ini adalah menumbuhkan kesadaran beragama demi mewujudkan kebahagiaan nasional. Menghapus pendidikan agama sama saja memustahilkan kebahagiaan nasional terwujud.

Silahkan Baca  WAKIL BUPATI GUNUNGKIDUL MENGADAKAN PENANAMAN POHON BERSAMA KKN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

Seharusnya dengan mindset pembangunan seperti itu, justeru porsi pendidikan agama semakin ditambah, bukan malah dihapus. Bahkan perlu digagas upaya mengintegrasikan nilai-nilai agama dalam berbagai mata pelajaran. Maka adanya gagasan RUU Pesantren dan Pendidikan Agama perlu kita dukung bersama untuk menguatkan pendidikan agama pada 3 pilar pendidikan; pemerintah, sekolah/pesantren, dan keluarga.

Lalu bagaimana bila penghapusan pelajaran agama ini benar-benar terjadi? Situasi sangat berbahaya akan mengancam, Indonesia akan mengalami krisis multi dimensional yang bisa menjadi sebab hancurnya bangsa. Bahkan yang paling parah, Arnold Toynbee dalam buku A Study Of History menegaskan bahwa melemahnya visi spiritual suatu peradaban akan memunculkan disintegrasi peradaban tersebut. Kita semua tidak ingin ini terjadi kan?

Jadi menurut hemat kami, setop wacana-wacana penghapusan pelajaran agama, dan jangan sekali-sekali berpikiran atau bahkan melakukan upaya-upaya untuk mengurangi, menjauhkan atau menghilangkan nilai-nilai agama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita. Wacana ini tidak perlu diteruskan. Kami percaya pemerintah masih waras untuk tidak menyetujui wacana ini, karena itu sama saja pemerintah mengkhianati amanah konstitusi dan jati diri bangsa sendiri. Kami seluruh bangsa Indonesia menolak wacana penghapusan pelajaran agama.

(H. Sukamta, PhD, Anggota DPR RI, Dapil Daerah Istimewa Yogyakarta, Sekretaris Fraksi PKS)

Penulis

redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *