WARTA JOGJA | YOGYAKARTA –Leptospirosis merupakan salah satu penyakit menular dengan kasus tertinggi setelah Demam Berdarah dan Malaria di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Penyakit Leptospirosis disebabkan oleh infeksi dari bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia (zoonosis). Bakteri ini dapat hidup pada ginjal hewan pembawa, keluar melalui urine sehingga dapat mengkontaminasi lingkungan dan hidup berbulan-bulan di tanah dan air. Hewan yang biasanya berpotensi menjadi carier/vektor/pembawa penyakit Leptosipirosis antara lain tikus got, tikus sawah, dan tikus pohon. Leptospirosis biasanya menyerang manusia melalui paparan air, tanah atau benda yang terkontaminasi urine hewan pembawa bakteri Leptospira sp. yang masuk lewat luka terbuka/tergores maupun lapisan dermal (celah kulit).( 12/05/20)
Dilansir dari data Dinas Kesehatan DIY, salah satu kabupaten yang banyak ditemukan kasus Leptospirosis adalah Kabupaten Bantul dengan 67 kasus pada tahun 2019 yang tercatat 1 pasien meninggal dunia.Walaupun mengalami penurunan kasus dari tahun-tahun sebelumnya, masyarakat diharapkan tetap waspada dan berhati-hati, dikarenakan Leptospirosis merupakan penyakit yang mengancam kesehatan setelah Demam Berdarah dan Malaria jika tidak segera di obati dapat menyebabkan kematian. Berdasar modul Petunjuk Teknik Pengendalian Leptospirosis Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2017 ada 3 kriteria yang diterapkan dalam mendefinisikan kasus Leptospirosis yaitu Kasus Suspek, Kasus Probable, dan Kasus Konfirmasi. Berikut adalah penjelasannya, Kasus Suspek biasanya terjadi karena ada Riwayat terpapar lingkungan yang terkontaminasi dalam 2 (dua) minggu sebelumnya, seperti kontak dengan air yang terkontaminasi bakteri Leptospira/urin tikus saat banjir. Kasus Suspek memiliki gejala demam akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai nyeri otot, tubuh yang lemah, serta mata memerah tanpa eksudat. Pada Kasus Probable gejala yang ditimbulkan antara lain nyeri betis, icterus, sesak nafas, ruam nafas, oliguria/anuria, aritmia jantung dan batuk dengan atau tanpa hemoptisis. Sementara untuk kasus konfirmasi memiliki gejala dari kasus suspek dan probable.
Penyakit Leptospirosis dapat terjadi di daerah/wilayah yang terkena bencana banjir, area persawahan maupun wilayah bantaran sungai yang berpotensi sebagai habitat tikus. Cara yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan Leptospirosis antara lain Menjaga lingkungan sekitar maupun diri sendiri agar tetap bersih dan sehat (PHBS), Melakukan pemberantasan sumber infeksi atau pengendalian tikus liar yang mengganggu di sekitar pemukiman dengan memperbaiki sanitasi lingkungan, pengendalian tikus secara mekanik, kimiawi dan biologi. Serta melakukan vaksinasi terhadap hewan piaraan atau ternak agar terhindar dari leptospirosis. Khusus wilayah endemis atau terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB) perlu dilakukan penanggulan seperti pemberian desinfeksi pada penampungan air dan badan air alami dengan menggunakan klorin. Untuk menghindari penularan terhadap para pekerja yang berhadapan langsung dengan tanah dan air (lingkungan) yang terpapar bakteri Leptospira seperti pekerja irigasi, petani, dokter hewan, pekerja tambang dsb. wajib menggunakan pakaian pelindung khusus seperti masker, sarung tangan dan sepatu bot.
Pada kasus Leptospirosis, pengobatan untuk manusia yang sudah terinfeksi akan dilihat berdasarkan dari kasus penyakitnya. Untuk pengobatan dengan antibiotika dilakukan sejak kasus suspek ditegakkan secara klinis. Berdasarkan modul Petunjuk Teknik Pengendalian Leptospirosis Kementrian Kesehatan Republik Indonesia pada tahun 2017, terapi untuk kasus Leptospirosis ringan menggunakan antibiotic jenis Doksisiklin, Amoksisilin atau Makrolid dengan dosis sesuai anjuran dokter. Sementara pada kasus Leptospirosis berat, antibiotic yang digunakan antara lain Ceftriaxon, Penisilin Prokalin, Ampisilin dengan dosis yang dianjurkan dokter dan melakukan terapi suportif bila ada komplikasi.
Marilah kita menjaga dan menciptakan lingkungan yang bebas dari penyakit, bersih dan sehat demi tercapainya kenyamanan bagi semua orang. Dikutip dari artikel opini oleh Irene Agni Teatrawan, Mahasiswi Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta.
WJ ( Red )