BUMN DAN UMKM
(Oleh: Harvick Hasnul Qolbi, Bendahara PBNU)
WARTA JOGJA | Sedari awal bangsa ini berdiri, UMKM selalu menjadi salah satu program dalam pembangunan nasional. Hal tersebut adalah amanah UUD 1945 yang tertuang di dalam pasal 33.
Situasi perekonomian bangsa Pasca Perang (Post War) terbilang sangat lemah, sehingga aktivitas-aktivitas untuk mendukung UMKM oleh BUMN masih berjalan dengan tidak terstruktur.
Misalnya pada tahun 70an sebagai dampak dari “Oil Boom” , BUMN menjadi Agent of Development pada era pembangunan kita, dan menjadi main actor / pemeran utama dalam pertumbuhan ekonomi bangsa.
Contohnya adalah ketika Indonesia mulai memperkuat sektor industri dengan membuka Kawasan Industri Pulogadung (JIEP) mulai tahun 1967, ada alokasi sebesar 5 % untuk membangun UMKM.
Sebab dalam PP no 3 tahun 1983 disebutkan bahwa salah satu tujuan pendirian BUMN adalah turut aktif memberikan bimbingan kegiatan pada sektor swasta, khususnya pengusaha golongan ekonomi lemah dan sektor koperasi. Dan koperasi adalah salah satu karakter ekonomi bangsa kita, sebagaimana gagasan Founding Father Muhammad Hatta.
“Melalui koperasi rasa kebersamaan, persamaan, dan tolong menolong dapat ditumbuhkan. Jiwa koperasi adalah “menolong diri sendiri secara bersama-sama”. Dasar kesukarelawanan untuk mencapai kepentingan bersama, serta menumbuhkan kesetiakawanan untuk mengangkat derajat bersama” (Bung Hatta)
Salah dua program BUMN yang sampai kini masih berjalan adalah PKBL dan CSR. PKBL adalah Program Kemitraan dan Bina Lingkungan, mengacu pada UU ko 19 tahun 2003, yang berisi bahwa BUMN wajib menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Sementara CSR adalah Corporate Social Responsobility adalah komitmen perseroan untuk berperan dalam pembangunan ekonomi guna meningkatkan kualitas kehidupan komunitas setempat maupun masyarakat pada umumnya.
Hanya saja, ikhtiar pembinaan UMKM tersebut masih menemui berbagai tantangan. Di antaranya adalah belum adanya standarisai penilaian kinerja, maraknya terjadi duplikasi kegiatan, database UMKM yang belum terintegrasi, dan ihwal sertifikasi produk termasuk sertifikat halal.
Lalu, pada era digital dan industri 4.0 ini, BUMN dan UMKM perlu bersinergi dalam pemanfaatan teknologi digital. Misalnya dengan Program Padi BUMN untuk UMKM. Padi UMKM adalah sebuah platform digital yang diinisiasi oleh Kementerian BUMN untuk monitoring kontribusi BUMN kepada UMKM di seluruh Indonesia.
Dengan demikian, sejumlah program bisa dimonitoring dan dievaluasi jika perlu perbaikan. Misalnya program Bank Mandiri yakni Wirausaha Muda Mandiri, BNI dengan Kampoeng BNI Nusantara, dan Teras BRI. Demikian pula program Membina Ekonomi Keluarga Sehahtera (MEKAAR) oleh PT PNM.
Alhasil, kerja-kerja percepatan untuk pemulihan ekonomi nasional akibat Covid 19 sangat membutuhkan kerja keras BUMN, yang salah satunya adalah penguatan sinergitas antara BUMN dan UMKM. 17 Agustus 2020, momen hari lahir bangsa Indonesia ke-75, adalah momen untuk menguatkan kembali esensi dari pada ekonomi koperasi, yakni membangun kebersamaan antara usaha kecil (UMKM) dengan BUMN sebagai tumpuan utama perekonomian bangsa.
Dirgahayu Republik Indonesia, 17 Agustus 2020.
( Redaksi )