
YOGYAKARTA || WARTA-JOGJA.COM – Setelah beberapa kali bersurat kepada Pemkot Yogyakarta, akhirnya sejumlah pedagang Teras Malioboro (TM) 2 mendatangi Kantor Balaikota Yogyakarta dengan bertemu langsung Penjabat (PJ) Walikota Yogyakarta Sugeng untuk menindaklajuti terkait rencana relokasi TM 2 jilid 2.
Mewakili para pedagang, Ketua Koperasi Tri Dharma Arif Usman mengatakan ini menjadi awal berdialog langsung dengan pihak Pemkot untuk segera mendorong dua tuntutannya dapat dikabulkan.
“Ini adalah awal, dalam arti semoga PJ Walikota yang baru benar-benar punya hati bersih dan pikiran jernih sehingga bisa menerima dan menampung keluhan-keluhan kami,” kata Arif Usman usai berdialog dengan Pj Walikota Yogyakarta, Senin (5/8/2024).
Dalam audiensinya tersebut, pihaknya masih berpegang teguh setidaknya ada dua tuntutan yang harus segera dilakukan oleh Pemkot Yogyakarta.
Yang pertama, mendesak Pemkot Yogyakarta untuk berkomitmen mengajak komunikasi dua arah terhadap keterlibatkan langsung proses relokasi nantinya.
Sebelumnya, ia menilai para pedagang hanya dianggap objek (barangnya/relokasi jadi lalu pedagang harus di sana).
“Tadi ada poin penting dari pak PJ Walikota bahwa kita adalah subjek, bukan objek. Jadi setiap kali ada kebijakan dari pemerintah, maka kita akan dilibatkan karena kita punya perasaan, kehendak, dan kemauan,” ujarnya.
“Ini adalah awal baru dan baik karena PJ Walikota menganggap kami sebagai subjek,” sambungnya.
Kedua, ditengah-tengah hasil Detail Engineering Desaign (DED) relokasi jilid 2 tersebut sudah jadi, Arif mendorong Pemkot Yogyakarta untuk revisi dalam waktu dekat.
“Semoga DED-nya bisa berubah. Dalam arti, kami bisa berbicara atau berembug kembali dengan para pemangku kebijakan tentang apa saja yang kami inginkan selama ini,” pintanya.
Karena tidak ada pelibatan langsung dengan para pedagang, Arif juga meminta kepada Pj Walikota untuk mengevaluasi Kepala Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta beserta Kepala UPT Malioboro.
“Tolong, Kepala Dinas Kebudayaan dan Kepala UPT Malioboro dievaluasi kalau bisa diganti,” tegasnya.
Berbagai hambatan yang terjadi selama hampir 1,5 tahun sudah pihaknya sampaikan kepada pihak berwenang.
“Semoga itu menjadi salah satu kebijakan yang akan diambil oleh PJ Walikota yang baru ini,” lanjutnya.
Komunikasi yang dihambat itu membuatnya hingga melaporkan ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI) di Wilayah Yogyakarta tertulis dugaan maladministrasi relokasi TM 2 jilid 2 pada tanggal 30 Juli 2024 lalu.
“Itu adalah surat ORI yang ditembuskan ke kami bahwa selama ini memang ada kesepakatan di antara kami dengan Dinas Kebudayaan Kota di ORI, kalau memang Paguyuban tidak dilibatkan, maka silakan Kepala Disbud membentuk grup WA yang menampung semua pedagang di TM 2 untuk diajak berkomunikasi dan berembug tapi pada kenyataannya itu tidak terealisasi,” jelasnya.
Namun, saat ORI melayangkan surat tersebut, tidak ada respon oleh Disbud Kota Yogyakarta.
“ORI bersurat ke Disbud tetapi tidak direspon. Jadi tanggal 30 Juli itu, kami menerima surat tembusan dari ORI yang menyampaikan bahwa ada pertemuan ORI dengan PJ Walikota,” ungkapnya.
Alasannya selalu menekankan ingin dilibatkan dalam proses relokasi karena dinilainya, saat berkaca di Teras Malioboro (TM) 1, dirinya mendapatkan informasi yang menunjukkan sebagian besar dilokasi tersebut usahanya mati.
“Kalau berkaca di TM 1, silakan dicek bagaimana kondisi di sana. Kami juga mempunyai banyak teman di sana yang berada di TM 1, para pedagang di lantai 2 dan 3, usahanya mati,” katanya.
Dalam hal ini, ia juga mendapat pemberitahuan ada 20 tenant di TM 1 yang dikembalikan karena tidak berjualan.
“Mohon maaf, sebelumnya kami juga membaca dari media bahwa omzet di TM 1 lebih dari Rp 13 M, dan ada 20 tenan yang dikembalikan karena tidak pernah untuk berjualan. Apa artinya kalau 20 tenan dikembalikan? Itu artinya pemerintah gagal membuat para pedagang TM 1 naik kelas. Mereka tidak bisa berdagang di situ karena tidak laku,” terangnya.
“Intinya, orang berjualan itu bukan sekadar mendapatkan tenan/tempat, tetapi jualannya tidak laku,” lanjutnya.
Disinggung terkait lokasi relokasi baru itu yakni di Ketandan dan Beskalan, Arif meminta Pemkot Yogyakarta untuk membicarakan lagi dan agar besok akan seperti apa.
“Bayangkan saja kalau ukuran per tenannya 60×60 cm akan seperti apa? Di TM 2 sekarang ukurannya: 1,2 x 1,2 M. Itu pun berbeda dengan perjanjian sebelum relokasi di TM 2. Dulu kami dijanjikan ukurannya 1,5 x 1,5 M per tenan, tapi kenyataannya kami hanya mendapatkan 1,2 x 1,2 M,” katanya.
Lanjut Arif menuturkan, ia juga pernah bertemu GKR Hemas untuk menyampaikan keluhannya tersebut. Saat itu permaisuri dari Gubernur DIY yakni Sri Sultan HB X mengatakan bahwa masalah para pedagang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara berdialog dua arah.
“Ketika kami menemui GKR Hemas juga disampaikan bahwa sebenarnya masalah kalian ini sepele. Hanya masalah komunikasi, tinggal diajak ngopi dan rembugan, selesai,” jelasnya.
Saat berdialog dengan GKR Hemas, beliau menilai bahwa tenant dilokasi saat ini tidak layak untuk berjualan
“Beliau (GKR Hemas) itu pun menilai bahwa tenan dengan ukuran 1,2 x 1,2 M sebenarnya tidak layak untuk berjualan. Apalagi kalau besok ukurannya hanya 60 x 60 cm,” jelasnya.
Namun, sejak dirinya bertemu dengan GKR Hemas hingga saat ini, sama sekali tidak ada komunikasi dengan Disbud Kota Yogyakarta dan UPT Malioboro.
“Jadi intinya, sumbatan komunikasi itu ada di Disbud Kota dan UPT Malioboro, makanya tadi kami juga menyampaikan agar mereka dievaluasi dan kalau bisa diganti,” ujar Arif Usman.
Disisi lain, Arif kembali menegaskan dalam rencana relokasi tersebut, kalau dirinya bersama para pedagang lain tidak anti pemerintah tetapi namun menentang ketidakadilan dalam komunikasi.
“Harapan kami, tidak sekadar diterima PJ Walikota tetapi semoga tuntutan kami ditindaklanjuti. Tapi juga disampaikan bahwa setelah ini akan ada komunikasi 2 arah,” harapnya.
“Jangan sekadar jargon bahwa relokasi akan membuat kami naik kelas tetapi pada kenyataannya, kondisi kami di TM 2 seperti sekarang,” pungkasnya.
(Red/Olivia Rianjani – Editor/Mawan)