
Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Cahya Purnama (foto Olivia Rianjani)
WARTA-JOGJA.COM, SLEMAN, DIY – Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman mencatat sebanyak 82 kasus leptospirosis terjadi sepanjang tahun 2025. Dari jumlah itu, sembilan orang meninggal dunia, menjadikan tingkat fatalitas kasus (CFR) mencapai 6,10 persen, ini lebih tinggi dibandingkan dengan demam berdarah dengue (DBD).
Kepala Dinas Kesehatan Sleman, Cahya Purnama, mengatakan bahwa penyakit leptospirosis menjadi perhatian serius karena penanganannya sulit. Hal itu disebabkan sumber penularannya berasal dari tikus yang terinfeksi bakteri leptospira.
“Sampai saat ini terjadi 9 kematian. Iya, lebih berat pada leptospirosis daripada demam berdarah, karena intervensinya pun amat sulit karena ini tikus,” ujar Cahya kepada awak media, Selasa 28 Oktober 2025.
Menurutnya, pengendalian leptospirosis hanya bisa dilakukan dengan penanggulangan populasi tikus secara serentak. Upaya itu, lanjut Cahya, harus melibatkan lintas sektor, termasuk Dinas Pertanian serta masyarakat.
“Kita harus serentak menganggap bahwa ini hama. Kemarin di Minggir itu kita kerja sama dengan penembak-penembak tikus, lumayan sawahnya tidak puso, tapi leptonya tetap masih ada,” bebernya.
Selain wilayah barat seperti Minggir, kasus leptospirosis kini juga ditemukan di Kapanewon Ngemplak. Menariknya, kasus di Ngemplak tidak terjadi di area persawahan, melainkan di lingkungan kerja seperti tempat mebel yang kumuh.
“Ini malah Ngemplak sekarang. Itu malah terjadi tidak di area sawah, tapi di tempat mebeler yang agak kumuh. Dia ngerokok, naruh rokoknya di meja yang kena kencing tikus, mungkin dari situ masuk,” ungkap Cahya.
Kendati begitu, Cahya mengingatkan masyarakat agar lebih waspada terhadap gejala awal leptospirosis yang sering disangka flu biasa. Gejalanya antara lain demam tinggi, nyeri betis, serta mata merah atau kuning.
“Kalau ada tanda-tanda itu segera berobat. Kematian itu terjadi karena keterlambatan pengobatan. Kalau segera dapat antibiotik, itu tidak akan menimbulkan kematian,” tegasnya.
Lanjut Cahya menyebut, banyak kasus berakhir fatal karena pasien terlambat mencari pertolongan, rata-rata baru dibawa ke rumah sakit setelah **lima hari sejak gejala muncul.
“Perilaku masyarakat yang sering mengobati sendiri itu tolong dicermati betul. Boleh mengobati sendiri, tapi kalau ada mata merah, nyeri betis, dan banyak tikus di sekitar, segera bawa ke fasilitas kesehatan,” ujarnya.
Mayoritas kasus leptospirosis di Sleman dialami oleh laki-laki berusia di atas 50 tahun, dengan aktivitas berisiko seperti bertani, mencari rumput, membersihkan selokan, atau bekerja tanpa alat pelindung diri (APD).
Oleh karena itu, Cahya menegaskan bahwa pembersihan lingkungan dan pengelolaan sampah yang baik menjadi kunci utama pencegahan.
“Selama masih ada sampah-sampah seperti ini, populasi tikus akan meningkat terus. Di food court juga harus kita amankan, jangan sampai sampah terbuka karena populasi tikus itu cepat sekali berkembang,” tandas Cahya.
Bidang Yankes Dinkes Sleman, dr Yuli menambahkan, Dinkes Sleman juga mencatat, dalam dua tahun terakhir (2020 – 2024), dimana total kematian akibat leptospirosis mencapai sekitar 10 kasus. Sementara pada tahun 2025, dengan sembilan kematian, empat kasus di antaranya masih dalam proses audit.
Hasil uji lingkungan (Survei Rodensia) tahun 2023 menunjukkan adanya kontaminasi positif leptospira pada spesimen air, tanah, dan tikus di wilayah Minggir, sedangkan di Ngemplak hasilnya negatif.
“Yang masuk dalam 5 besar kasus adalah kapanewon Ngemplak, Depok, Prambanan, Minggir, Ngaglik,” ungkap Yuli.
“Lha ini sdh terjadi pergeseran mbak, bukan daerah persawahan lagi.. ,”
Lanjut Yuli menekankan kepada seluruh OPD terutama Dinas Pertanian untuk ditingkatkan kembali dari sisi pemberantasan hama tikusnya dan peran Tikorda kabupaten Sleman. Ini mengingat bagaimanapun tikus adalah suatu hama. Menurutnya, jika semua OPD/komponen bergerak, masyarakat dapat tersosialisasi dan teredukasi dengan baik.
“Harapannya kasus leptospirosis dapat diketahui oleh masyarakat untuk segera mendapatkan penanganan lebih dini sehingga dapat mencegah terjadinya kematian oleh karena leptospirosis (karena kematian yg terjadi akibat leptospirosis ini, biasanya krn keterlambatan dalam penanganan medis, dimana pasien datang berobat terlambat),” pungkas Yuli.

🔶️ PIMPRED & REDAKTUR: MAWAN

                        

